
Al Ghazali.
Ustad mengawali ceramah menjelang shalat Tarawih dengan menyinggung Sigmund Freud, Dante Allighien (1300-an) dan Al Ghazali (1058-an).
Ceramah ini terbilang agak “berat” karena berbicara ikhwal tatanan dasar kehidupan manusia, apalagi untuk masjid yang berada di tengah perkampungan padat penduduk di dalam gang.
Namun si ustad melukisan pada ujung pembicaraannya, sebenarnya ia ingin menjelaskann bahwa manusia dapat lebih tinggi derajatnya dari malaikat tapi juga bisa lebih rendah dari binatang.
Sigmund Freud terkenal dengan Teori Psikoanalisis dilahirkan di Morovia, pada 6 Mei 1856 dan meninggal di London pada 23 September 1939.
Dalam kepustakaan tertera, Freud menyatakan, berdasar penelitiannya, manusia dalam membentuk kepribadianya terdiri atas tiga komponen utama yaitu das es, das ich, das Uber Ich yang dengan kata lain adalah id, ego, super ego.
Id artinya nafsu atau dorongan kenikmatan yang harus dipuaskan, bersifat alamiah pada manusia. Ego dapat dianalogikan sebagai kemampuan otak atau akal yang membimbing manusia untuk mencari jalan keluar terhadap masalah melalui penalarannya. Sedangkan super ego sebagai norma, aturan, agama, norma sosial.
Dante Allighien dalam bukunya Inferno yang berisi puisi epik 14.233 halaman yang ditulis awal 1.300-an, secara literal mengubah persepsi Abad Pertengahan tentang hukuman akhirat.
Sebelumnya, konsep tentang neraka tidak pernah memikat massa dengan cara yang begitu menghibur. Dalam sekejap, karya Dante membuat konsep abstrak mengenai neraka menjadi visi yang jelas dan mengerikan, mendalam, gamblang, dan tak terlupakan.
Setelah penerbitan puisi itu, -disebutkan dalam kepustakaan – Gereja Katolik mengalami peningkatan jumlah pengunjung yang luar biasa dari para pendosa yang ketakutan dan ingin menghindari versi terbaru tentang neraka yang dilukiskan Dante.
Sedangkan Al Ghazali yang hidup setelah masa Dante, mendapatkan kesimpulan tentang manusia melalui Al Quran.
Konsep wujud manusia menurut filsuf Islam Al-Ghazali, terdiri atas jiwa, al-ruh dan badan, tetapi esensinya adalah jiwa.
Jiwa adalah substansi yang berdiri sendiri dan mempunyai ifat dasar berbeda dengan badan. Pandangan tersebut menunjukkan bahwa manusia adalah makhluk metafisik yang wujud kongkretnya dalam bentuk hubungannya dengan badan, untuk tujuan tertentu.
Selain itu, meskipun manusia termasuk ke dalam golongan hayawaniyah, namun manusia memiliki perbedaannya dengan hewan yaitu memiliki pertimbangan akal atau ilmu. Al-Ghazali menemukan dasar pemahaman yang mendalam pada filsafat tentang manusia.
Freud, Dante dan Ghazali sama-sama berbicara tentang manusia (alam fisik) dan alam fana. Ada kehidupan setelah kematian, yaitu akhirat, yang berupa surga dan neraka. Dalam rukun Islam ini disebut mempercayai hari akhir (alam lain setelah kematian).
Dalam falsafah Jawa pun ada yang menyamai konsep ketiga filsuf tadi, yaitu tentang perputaran alami yang disebut Nyokropanggilingan – yaitu kehidupan dari nol kembali ke nol. Kehidupan itu berupa jagad cilik (mikro=manusia) dan jagad ageng (makro=dunia).
Nah, ini yang ingin ditekankan si ustad, manusia berbeda dengan malaikat, karena malaikat tidak memiliki nafsu sedangkan manusia disempurnakan dengan nafsu, sehingga kehidupan manusia itu amat dinamis, ada yang alim tapi ada jura yang seperti binatang sampai kelakuannya mencapai tingkat vulgar.
Banyak orang yang shalat dengan khusuk, puasa dengan sempurna, menunaikan haji dan membayar zakat serta berinfak, namun ia melakukan korupsi dan pelanggaran larangan agama lainnya.
Bila manusia mampu mengatasi semua tindak kejahatan yang melanggar inti keberagamaan itu, maka manusia itu dapat mencapai derajat kehidupan yang lebih tinggi dari malaikat. Namun bila ia terperosok ke jurang hawa nafsu, maka ia bisa lebih rendah ketimbang binatang.
Itulah sebenarnya inti yang ingin disampaikan ustad pada ceramah sebelum shalat Tarawih itu. Kita semua umumnya sudah pernah mendengan tentang itu, tapi apakah kita mampu mengejawentahkan dalam kehidupan sehari-hari?
Wollohualam bissawab. (arl)