Parmitu


Ilustrasi - Parmitu. (netclipart.com)

Parmitu amat heran, mengapa orang tuanya menamai Parmitu. Ketika ia mulai bergaul dengan orang-orang dari seberang semasa SMA, ia baru paham arti Parmitu itu kira-kira “parminum tuak”. Orang-orang yang minum tuak di lapo (warung) tuak. Tuak adalah hasil fermentasi air nira yang sulingannya menjadi beralkohol dan masuk jenis minuman keras.

“Heran saya. Ayah saya memang orang Medan tapi ibu sayakan orang Solo. Kok setuju-setujunya ibu menamai saya Parmitu,” pikirnya suatu ketika.

Ketika ayahnya masih hidup, ia pernah menanyakan hal itu dan ayahnya yang asli dari Pulau Samosir itu membenarkan bahwa Parmitu itu berkaitan dengan pengertian warung penjual tuak serta orang-orang yang kerap makan dan minum di dalamnya.

Kepada ibunya yang masih sehat pun ia pernah menanyakannya. Tapi ibunya yang kecantolan dengan ayahnya ketika sama-sama kuliah di Yogyakarta itu, mengatakan ia nrimo saja apa mau ayahnya, karena ia amat cinta dengan ayahnya dan yang terpenting karena ayahnyalah yang membuatnya.

“Apalah arti sebuah nama. Itukan hanya panggilan saja. Agar kau menoleh bila disapa dan agar ada nama di rapormu di sekolah,” ujar ibunya.

“Tapi mengapa nama adik saya bagus. Rudy, kan itu nama bagus dan tidak malu diolok-olok teman. Apalagi teman dari Sumatera,” kata Parmitu suatu ketika. “Ya..itulah mau ayahmu. Sudahlah tidak usah tanya-tanya lagi. Masak nama mau diganti, kau kan sudah dewasa” jawab ibunya.

Dulu ketika ia masih kecil, baru kelas tiga SD, ayahnya pernah membawa pulang kampung. Di tepi-tepi jalan, setelah turun dari KM Tampomas yang melayari Tanjung Priok – Belawan ketika itu, ia banyak melihat namanya terpampang di warung – warung di tepi jalan. Bahkan sampai ke Siantar, Tiga Dolok, Parapat sampai menyebrang ke Samosir.  Lapo Tuak anu begitu bacaannya dan tak jarang dibuat langsung Lapo Parmitu.

Ketika itu ia bangga. “Wah nama saya ada dimana-mana,” ujarnya ketika ia sudah pandai membaca dengan cepat dan lancar. Tapi ketika ia sekolah di SMA De Brito Yogya, ia mulai tahu arti namanya itu, karena banyak temannya yang berasal dari Medan.

Ia kerap menjadi bahan olok-olokan. “Hei Parmitu, kok kau tidak teler-teler, sadar terus. Mana itu tuak, kasi aku lah sedikit,” kata temannya yang dari Sumatera dan temannya yang orang Jawa pun ikut-ikutan ngledeknya. Tapi ia menganggap semua itu lelucon, karena mereka memang senang guyon.

Sampai kuliah ia tidak paham mengapa orang tuanya menamainya Parmitu, tapi yang jelas ia tahu arti Parmitu bagi orang yang dari Sumatera Utara. Ketika ia akan menyelesaikan kuliahnya di jurusan Antropologi UGM, ia tertarik mengambil pemahaman tentang Parmitu untuk karya ilmiahnya.

Ia memilih judul skripsinya : “Parmitu, analisis deskripsi gender dalam sosiologi politis abstraksi kemajemukan akar rumput.” Dosen pembimbingnya sempat bingung, namun ia membiarkan Parmitu menelaah masalah itu, karena ia melihat lay-out kerangka acuan serta dalil dasar penelitian itu amat akurat dan menyentuh persepsi kekinian.

00o

Parmitu mulai memasuki warung-warung tuak. Mulai dari di Yogya, Solo, Surabaya, Jakarta, Medan, Siantar dan Samosir, dijalaninya semua.

Tidak semua warung menjual kawannya tuak, yaitu B2 alias babi atau anjing. Malah banyak yang menjual kera, digoreng atau dibakar. Ia amat berhati-hati, karena ia tidak memakan B2 dan anjing. Ia tidak mengerti bahasa orang-orang yang di warung-warung itu. Tapi mereka menyambutnya dengan baik, ketika ia memberi tahu marganya dan asal-usul mengapa namanya Parmitu.

Memang benar, dihampir semua warung tuak itu,–ia bahkan menyelidiki sampai ke Haranggaol, Kabanjahe dan kota yang besar dan kecil lainnya bahkan sempat minum di Parluasan Siantar dan di dekat stasiun bus Tanjung Morawa,— tidak ada wanita yang ikut-ikutan minum tuak. Yang main catur atau domino atau main gitar sembari bernyanyi, semuanya lelaki. Bahkan siang hari pun ibu-ibu bekerja di sawah atau jualan di pasar.

Di warung-warung itu, para lelaki selalu bercengkrama, membicarakan apa saja. Kalau bicara politik, bukan baik hebatnya. Mereka bisa lebih pintar ketimbang pengamat politik di televisi, kendati menguraikannya lebih sederhana.

Konon Parmitu, karena kebiasaan masuk warung tuak, jadi pemabuk, karena ia merasa harus menyatu dengan mereka agar skripsinya menjadi bersifat lebih analisis objektif. Ia merasa kewalahan memilah dasar metode penyelidikannya, apalagi menyelidiki substansi atau content permasalahan. Ia malah selalu ikut-ikutan memukul-mukul gelas atau botol tuak dengan sendok, ketika Dago Inang Sarge dan Maragam Ragam dan lagu lainnya berirama Amerika Latin itu semakin bergelora.

“Bah, macam mananya abang ini. Mainkan terus lagu itu, ayo lae, tancap sudah syor kali aku ini,” kata Parmitu yang sudah lancar dan kental dengan kata-kata dan logat itu. Ibu dan keluarganya di Yogya bingung, karena sudah lama ia pergi tapi  belum pulang juga. Uang terus yang minta dikirimi.

Bila malam pulang dari warung tuak itu, Parmitu selalu nglamun tapi dasar ia mahasiswa cerdas, otaknya terus berusaha menganalisis apa yang sudah didapatnya dari peninjauan on the spot selama ini. Aneh sekali, ia merasa tidak mampu mengumpulkan data mengenai materi apa yang mau ditulisnya.

Namun ia mendapatkan persepsi lain. Ikatan kekerabatan. Itu yang dianalisisnya, kendati yang berhadapan dengannya di warung tuak itu maupun ditempat terbuka lainnya, adalah etnis yang berbeda,—yang sedang teler maupun yang sadar,— misalnya Batak Toba, Simalungun, Karo, Pak-Pak, Mandailing dan yang lainnya.

Tanpa berkonsultasi dengan dosen pembimbing, ia merubah judul skripsinya, menjadi “Kekerabatan Luar Dalam Parmitu, suatu talaah kejiwaan kultural dari perspekktif moyang yang tidak terabstraksi hingga kekinian”.

Telaah itu menjadi amat mendalam dan luas. Struktur kilas balik kepustakaannya diambil dari zaman animisme,—yang ditulis orang Belanda dan Perancis,—ketika orang makan orang, sampai substansi keangkuhan positif dan negatif kekinian.

Artinya, susah mencari pengemis dan pemulung orang Batak, tapi pencopet, perampok dan pembunuh banyak, apalagi yang jadi supir bus dan kondektur. Bagaimana kulturasi kejiwaan dan pertumbuhan perkembangan otak orang Batak, mengapa amat banyak yang pintar berkata-kata , misalnya, jadi hakim dan pengacara tapi di bidang fisika dan politeknik sedikit. Kok banyak orang Batak yang pintar bernyanyi dan jadi politisi, tapi sedikit yang jadi dokter atau insinyur. Atau mengapa orang Batak jarang yang beristri lebih dari satu.

Dengan kemampuan adaptasi kepustakaan dan wawancara dengan para ahli, Parmitu mampu mengungkapkan hal itu. Ia lulus dengan cum laude dan namanya tenar di seputa kampus. Ia ingin menuruti jejak ayahnya, mempersunting gadis Solo, tapi belum ada yang kecantol dihatinya.

Anehnya, setelah lulus dari perguruan tinggi, Parmitu malas cari kerja. Ia lebih suka mencari Parmitu, baik di seputar Pulau Jawa maupun langsung ke asalnya di Sumatera Utara. Temannya banyak dimana-mana, tapi ia lebih suka main gitar sembari Mitu (minum tuak) sepanjang malam.

Pasti ayahnya dulu tidak menyangka puteranya akan jadi demikian. Kalau tahu perjalanan hidup, pasti ayahnya tidak memberi nama Parmitu. Atau pun kalau terlanjur, mungkin diganti di tengah jalan.

Apakah nama Parmitu itu sudah mencemari jiwa dan merasuki karakter Parmitu?

Apalah arti sebuah nama.

oOo

Jakarta, April 2002  (dari kumpulan cerpen In Memoriam, karya a.r. loebis)

Leave A Comment

Your email address will not be published. Required fields are marked *