Kawan Lama


Ilustrasi - Kawan lama. (cermati.com)

NAMANYA Sanusi. Tubuhnya kerempeng, rambut gondrong awut-awutan dan penampilannya nyaris kumel. Itu sekitar 25 tahun lalu. Tapi kini rambutnya klimis, penampilannya trendi dan badannya agak gemuk. Ya, sudah hampir separuh usiaku kami tidak bertemu. Sejak aku hijrah ke Jakarta, kami pun tak pernah lagi bertemu muka. Suatu siang ia bertamu ke kantorku. Bukan kepalang aku kagetnya.

“San…kau Sanusi kan,” aku seperti tidak percaya. Ia menghambur ke badanku dan kami berpelukan. Bayangkan, dua kawan lama bertemu. Kawan karib dan amat akrab. Sahabat dalam suka dan duka. Karib yang sama-sama lapar dan sama-sama kenyang. Teman ngobrol berjam-jam di Malioboro. Bahkan teman mabuk.

“Rahmat, sudah seminggu ini aku mencarimu. Tapi tidak sukar mencarimu, karena masih ada teman lama kita di Yogya yang mengetahui tempatmu bekerja,” kata Sanusi sembari menarik nafas panajng. Aroma harum terasa dari tubuhnya tadi ketika kami berpelukan. Ia memang perlente, dulu bau kini sudah pakai parfum segala.

“Dimana kau selama ini?”

“Di Australia”

“Di kota apa?”

“Adelaide.”

“Kapan kau datang ke Indonesia?”

“Ya.. sekitar sepuluh hari lah”

“Kamu sehatkan?”

“Ya, begitulah.”

“Sudah kawin? Maksudku sudah nikah?”

“Kawin sudah, nikahpun sudah.”

“Istrimu orang mana. Eh berapa anakmu?”

“Orang Perth.  Dekat dari kota itu. Anakku sudah dua, sepasang.”

“Mana mereka? Mengapa tak kau bawa kesini. Apakah mereka ikut ke Indonesia. Rambut anakmu, pirang atau hitam?”

“Mereka tidak ikut.”

Nadanya agak menurun ketika mengatakan “mereka tidak ikut” dan rona mukanya agak lain. Ia membunyikan jari-jari tangannya. Kulihat di pangkal ibu jarinya masih ada tato huruf SN. Dulu aku pernah bertanya, apa arti SN itu, ia menjawab, “Sanusi Sunarto”.

Menilik dari namanya, Sanusi, rasanya ia bukan orang Jawa. Tapi ternyata ia Jawa asli. Ia lahir di Muntilan, tak jauh dari Yogyakarta. Aku pernah bertanya, mengapa namannya Sanusi, bukan seperti nama orang Jawa yang abjad akhirnya selalu dengan hurud O, seperti Soeharto, Soekarno, Soetopo, Sunyoto dan yang lainnya.

“Tak tahu lah awak. Aku tak pernah menanyakan sama orang tuaku” kata Sanusi, yang selalu menirukan logat daerahku bila berbicara.

“Kau lagi sibuk kerja? Mungkin waktuku datang tidak tepat,” kata Sanusi memecah kebekuan yang hingggap mendadak.

“Tidak. Aku lagi santai. Ayo kita kekantin,” kataku menarik lengannya.

***

IA meringis ketika jarum ketusuk-tusukkan ke pangkal ibu jarinya. Aku lagi membentuk huruf SN. Kami berdua lagi setengah mabuk, setelah petang tadi menenggak wiski buatan Mas Kirjo, yang berdagang di tepi rel kereta api dekat Stasiun Tugu.

Ia berkeringat ketika aku selesai menusuk-nusuk tangannya. Tinta kental itu kubalurkan ke luka tusukan itu. Kami berdua sempat kaget, ketika seseorang masuk kedalam ruang tempat kami “bekerja”. Ternyata pedagang kaki lima, kencing. Setelah kami minum, kepala mulai puyeng, sisa minuman kami bawa kedalam ruang yang dipagari seng itu. Ketika aku ke Yogya bertugas, kulihat bangunan tua didepan Toko Matahari sekarang, sudah menjelma jadi pertokoan.

“Sekarang giliranmu,” katanya.

Sanusi yang pandai melukis, membuat kelelawar dipangkal lenganku, dekat bekas suntikan cacar ketika aku masih kecil.

“Indah sekali,” katanya sembari menusuk-nusukkan jarum ke lenganku. Pengaruh minuman tadi, mungkin menyebabkan rasa sakit tidak begitu terasa. Aku masih ingat, tinta yang dibalurkannya berleleran ke kaosku. Kaos kesayanganku.

Tengah malam aku pulang ketempat kost ku di Sasrowijayan, dulu merupakan kawasan “merah”, entahlah sekarang. Sanusi, katanya, menginap dirumah temannya. Bertahun-tahun kami berteman, aku tak tahu dimana letak rumah kostnya. Kami hanya bertemu di Malioboro, hampir setiap malam. Terkadang ia menginap ditempatku, itu pun bila ada wanita bule yang lagi nempel padanya.

Sanusi memang tidak sedang sekolah di Kota Pelajar dan Kota Gudeg itu. Setahuku, ia tidak memiliki kegiatan tetap. Ia hidup dari meng”guide” orang asing yang amat banyak berkeliaran di kota itu. Kehidupannya amat bebas. Bila ia membawa wanita bule ke tempat kostku, mereka bebas berbuat aja saja, malah terkadang di depanku. Aku jengah, dan biasanya keluar sebentar. Terkadang, dengan kepiawaian melukis, ia melukis wajah orang yang sedang makan nasi gudeg di tepi jalan. Tapi ia bosanan dan terkadang wajah yang dilukisnya kurang mirip mungkin karena khayalannya sudah melambung.

Sehari setelah pembuatan tato itu, malamnya aku mencari-cari Sanusi. Biasanya dia ada di warung Mas Kirjo atau di warung Mama di Pasar Kembang. Betulkan, ia sedang bercengkrama dengan wanita bule, sembari makan salad. Aku ditawari mereka, tentu saja aku mau. Wesel dari ortu tak tentu tanggal datangnya, jadi aku lebih kerap bokek ketimbang mengantungi uang.

“Kau tiap malam berkeliaran, kapan belajarnya, hei mahasiswa,” sergah Sanusi.

“Ah tak usah kau tanya-tanya tentang kuliah,” kataku. Aku memang jarang belajar bahkan kuliahpun jarang masuk. Aku ketagihan menulis puisi dan cerita pendek. Dari hasil menulis itulah aku kerap dapat uang, bila tulisanku dimuat di media massa. Bila aku ada uang, kubagi dengan Sanusi. Ia pun demikian. Persahabatan kami semakin erat, apalagi dia pun suka membaca dan menulis puisi.

Bila ia datang ke kamarku, ia selalu membaca dengan lantang puisi-puisi Rendra, Emha, Umbu Landu Paranggi dari buku yang berserakan di mejaku. Bahkan puisi-puisi John Donne, Marvel dan yang lainnya pun, bisa dibacanya, karena ia memang mahir berbahasa Inggris. “Kau beruntung masih bisa kuliah,” pernah ia mengatakan hal itu padaku.

Ia selalu mengelak bila aku bertanya tentang keluarganya. Ayah dan ibunya ada di Muntilan, katanya. Tapi dia tidak pernah pulang. Hingga kini aku tidak tahu siapa Sunarto yang ada dibelakang namanya itu.

Isi teh botol itu sekali sedot masuk ke perutnya.

“Tambah lagi ya. Kok kelihatannya haus benar. Dari mana sih?”

“Aku memang haus, naik turun bis kota mencari kantormu,” jawab Sanusi.

“Tak kusangka kau bisa bekerja di kantor yang begini besar. Dulu kau hanya suka menulis puisi dan cerita pendek,” tambahnya.

“Ya, kantornya besar gajinya kecil,” kataku.

“Ceritakan tentang sejarah hidupmu,” katanya.

“Ah, tak ada yang seru. Dari Yogya aku nganggur dua tahun di Jakarta. Kemudian melamar di kantor ini dan diterima. Ya beginilah sampai sekarang. Kau yang harus bercerita tentang dirimu,” kataku.

“Istrimu orang mana? Anakmu berapa?”

“Istriku orang Betawi, Anakku empat, wanita semuanya,” kataku.

“Kau pasti bahagia,” katanya. Pandangannya menatap jauh. Kosong, tapi seperti menembus tembok. Pandangan seperti itu dulu beberapa kali kulihat, saat ia numpang nginap di tempat kostku.

“Aku nikah dengan Gladys, yang dulu kerap kubawa nginap ke kamarmu,” katanya.

“Oh ya. Ia cantik sekali. Pasti anak kalian gagah dan cantik,” kataku.

“Iya. Tapi sejak anak kedua anak kami lahir, ia jauh berubah. Ketika ia pindah kerja, ia tertarik dengan pria lain. Ia terus terang mengatakannya kepadaku. Yang paling gila, ia pernah membawanya kerumah, mengenalkan kepadaku dan kepada anak-anak,” kata Sanusi.

“Dasar  keluarganya tidak setuju ia menikah denganku, mereka seperti merestui ia bersahabat kental dengan pria itu. Namnaya Reaggie Smith, orang sedaerah kami di sana. Aku seperti hilang keseimbangan dan mulai lagi keluar malam, ke klub. Hidup ku jadi seperti kita di Warung Mama dulu, bersenda gurau setiap malam dengan orang-orang bebas,” katanya.

“Bulan lalu aku pamitan kembali ke Indonesia. Gladys biasa saja. Kedua anakku yang terus menangis. Usia mereka sekarang 12 dan 10 tahun. Kukatakan pada mereka, suatu saat kami akan berjumpa lagi,” kata Sanusi, mengetuk-ngetukkan ujung sepatunya ke lantai sedangkan tangannya mempermainkan botol di atas meja.

Sebenarnya aku tak ingin terlalu banyak tahu tentang masa lalunya yang kurang harmonis itu. Apalagi sebenarnya aku harus bekerja di kantor. Masih menumpuk pekerjaan yang harus kuselesaikan.

Kami akhirnya bicara ngalor ngidul tentang masa lalu kami di rantau, sampai akhirnya ia mengatakan, “Bahagia rasanya kita bertemu. Aku sebetulnya ada perlu juga denganmu.”

“Apa yang bisa saya bantu?”

“Terus terang, aku amat butuh uang. Nanti setelah uangku ada akan kukembalikan,” katanya.

Aku berdebar. Ini yang kukhawatirkan. Beberapa kali kejadian seperti ini, tapi umumnya yang datang famili, bukan teman lama yang banyak mengisi gelombang pemikiran masa silamku.

“Berapa kau perlu?”

“Lima juta rupiah,” katanya.

“Lima juta? Aku tak punya uang sebanyak itu.  Untuk apa?”

“Aku mau buat sertifikat tanah di kampung. Setelah itu lahan itu akan kujual. Sekarang hanya adikku yang tinggal di situ dan ia sudah sepakat denganku. Tapi sertifikat rumah itu entah dimana, harus buat yang baru.”

Aku mengingat-ngingat, dalam tabunganku paling ada sekitar dua juta rupiah.

“Paling banyak uangku hanya dua juta rupiah,” kataku.

“Tolonglah, kepada siapa lagi aku mau meminta bantuan,” katanya memelas.

Rasa ibaku timbul. Ia dulu begitu baik padaku. Membagi apa yang ada dalam kantungnya setiap saat aku lagi bokek.

“Paling aku dapat meminjamkan empat juta rupiah. Itu pun yang dua juta dari kas erte, kebetulan aku bendahara erte di tempatku tinggal,” kataku.

“Empat juta kurasa sudah cukup, nanti kekurangannya biar dicari adikku,” katanya.

“Tapi janji kau harus membayar secepatnya. Itu duit masyarakat dan setiap saat ada saja kebutuhan yang harus dikeluarkan. Itu pun besok baru dapat kuberikan,” kataku.

Keesokan harinya ia datang lagi ke kantor dan uang itu kuserahkan. Matanya berbinar-binar. “Terima aksih banyak kawan, paling lama sebulan aku akan kembalikan,” katanya dan ketika kutanya kemana menghubunginya, ia memberikan nomor  telpon rumahnya di Muntilan.

***

SUDAH hampir dua bulan kutunggu-tunggu, tak ada kabar berita dari Sanusi.

Mungkin rumah itu belum laku, pikirku.

Ketika memasuki bulan ketiga, aku tak sabar lagi. Memang ada kebutuhan yang harus dikeluarkan di wilayahku dan aku harus merogoh kocekku sendiri. Istri ku sudah mulai berang. “Biar kawan pun tapi harus hati-hati. Sekarang bisa kawan memakan kawan,” katanya.

***

Di kantor, aku memutar nomor telepon yang diberikan Sanusi padaku.

“Selamat sore, boleh aku bicara dengan Sanusi?”

“Sanusi mana Pak, ini dari mana?”

“Sanusi yang baru kembali dari Australia. Sanusi Sunarto. Dia teman saya. Ini rumahnya kan?” kataku.

“Di sini tidak ada yang namanya Sanusi. Kalau Pak Sunarto sudah almarhum dan rumah ini dibeli kakak saya belasan tahun lalu,” jawab suara di seberang telepon.

Masya Allah. Aku terpacak, kaget dan pusing. Dari mana Sanusi mendapat nomor telepon itu? Apakah itu memang nomor teleponnya yang dulu?

Ah, begitu teganya teman lama itu, aku bahkan tak tahu apakah ia benar baru datang dari Australia.

***

Jakarta, April 2003

(Cerita ini dimuat dalam  In Memoriam, oleh a.r.loebis)

Leave A Comment

Your email address will not be published. Required fields are marked *