Pria di taman


Ilustrasi - Pria di taman. (id.depositphoto.com)

Usianya pasti lebih dari setengah abad. Ceking, tulang rusuk dan di tulang bahunya   menonjol. Ia kerap buka baju karena udara panas di taman itu.  Rambutnya memutih dan bila pagi ia selalu menuliskan sesuatu di atas kertas, entah apa bunyinya.

Ia pun selalu rebahan di bangku besi di taman itu. Hanya ada tiga bangku panjang di situ dan bangku duanya juga selalu ditempati orang lain. Sebenarnya taman itu tak layak disebut taman, karena amat sempit, bekas trotoar jalanan yang diberi pagar besi.

Letak taman itu memanjang beberapa meter dari rel kereta api. Taman sederhana itu sengaja dibuat agar pedagang tidak memajang dagangan mereka, bahkan agar tidak lagi mendirikan bangunan liar, seperti dahulu yang pernah memenuhi tepi jalan itu.

Setiap aku pergi kerja, aku melihat pak tua itu di taman, terkadang ia tiduran, terkadang menuliskan atau mencoretkan sesuatu di kertas.  Aku kerap ingin mampir di taman tapi selalu kutahan. Taman itu terletak di mulut kampung, jadi tetanggaku bila ingin pergi atau pulang kerja pasti melewati taman.

Apa kata orang bila melihat aku duduk di taman bersama seorang tuna wisma yang kelihatan begitu gembel.  Apalagi rambut, kumis dan brewoknya awut-awutan.

Tapi rasa ingin tahuku mengalahkan rasa gengsi,  sehingga suatu petang aku melangkahi pagar yang tak seberapa tinggi, untuk bertemu dengan si bapak tua.  Ia sedang tidur-tiduran di bangku besi di taman.

“Selamaat sore pak..apa kabar pak..lagi ngapain,”  berondong pertanyaanku mengagetkan si bapak tua dan ia dengan agak bersusah payah bangun dari rebahnya, duduk di tepi bangku.

Aku mengulurkan tangan dan ia menyambutnya sembari berujar, “Kabar baik nak..gak salahkah saya rebahan di taman.”

Aku hanya tersenyum.  Ada tas kecil dari kain di bawah bangku, kelihatan sudah agak rombeng.  Ia mempersilahkan aku duduk. Kutawarkan sebatang rokok dan ia menerima.  “Terima kasih,” katanya.

Aku lebih bebas mengamati pak tua itu dari dekat. Memang benar, tulangnya di beberapa bagian menonjol. Misalnya di pipi, di siku tangannya, di belikat, di rusuk. Bajunya tak berkancing, kelihatan daging reot menyatu dengan kulit.  Brewok dan jenggotnya jarang-jarang.  Rambutnya ya awut-awutan.

“Tidur di sini semalam Pak? Jam berapa terlelap? Eh, banyak nyamuk gak, apa Bapak bisa tertidur?,” tak sengaja kuberondong ia dengan tanya karena rasa ingin tahu. Atau mungkin aku hanya ingin membuka pembicaraan. Ah tak jelas, kok aku tiba-tiba agak segan dengan di kumal itu.

“Kalo ngantuk ya tertidur lah Nak. Mungkin nyamuk-nyamuk itu sudah tak mau hisap darahku. Pahit mungkin,” katanya, sembari menepuk-nepuk debu di beberapa bagian celananya yang apek. Kemudian sepuluh jemari  tangannya dijadikan sisir membenahi rambutnya dari arah depan ke belakang.

“Aku selalu melihatmu lewat di jalan itu. Pagi dan sore. Kau kerja ya, dimana, eh tinggal di mana kau nak?, ” ia mulai berbicara. Tapi masih acuh, kemudian ia mengangkat tas kain dari bawah bangku, diletakkan di atas kedua pahanya.

Ia memintaku duduk di sebelahnya. Dari dalam tas dikeluarkannya kertas-kertas dan sebuah pulpen. Ia mulai menggambar sesuatu.

“Saya tinggal dekat sini Pak. Dalam gang di sebelah sana,” tapi ia tidak melihat  tangan yang kuacungkan ke arah gang seberang jalan.

Ia terus menggambar atau mencoret-coret kertas di atas pahanya.

oOo

Keesokan harinya aku lewat di taman, tapi si orang tua tidak kelihatan.

Aku masuk ke taman dan bertanya tentang pak tua itu pada seseorang yang duduk di bangku.

“Dia itu dulu orang kaya.  Keluarganya kaya. Dia pernah kaya.  Tapi ia tidak pernah bercerita mengapa jatuh miskin,” kata orang itu.

“Kami hanya mendengar ceritanya. Mungkin sekarang ia lagi mandi atau buang air. Biasanya   kami mandi di musola di seberang rel itu,” kata orang yang selalu duduk dengan pak tua itu.

Orang kaya? Aku semakin tertarik untuk mengorek latar belakang pak tua. Sebagai orang yang suka tulis menulis, rasa ingin tahuku membesar, semoga ia datang lagi ke taman.  Ini mungkin yang namanya naluri.

Keesokan harinya pulang kerja, pak tua tidak ada di taman. Malamnya aku berkunjung ke taman dan melihat pak tua duduk di bangku. Kedua lengannya memeluk kedua kakinya yang dinaikkan ke bangku. Abu rokoknya sudah panjang tapi belum juga tumpah.

“Pak, apa kabar?”

“Ya..baik-baik saja.”

“Kemarin saya ke sini tapi Bapak tidak ada.”

“Kan taman ini bukan rumahku.”

“Lho rumah Bapak dimana?”

“Ada entah dimana-mana.”

Ah, entah apa yang ada dalam pikiran pak tua ini. Gaya bicaranya kok seperti berfilsafat. Kayaknya dia ini memang bukan orang sembarangan. Dia ini berisi. Entah apa yang dicoret-coretkannya di atas kertas itu.  Jangan-jangan dia menulis puisi. Atau untaian  kata tentang nilai kehidupan. Atau angka-angka untuk pemasang kode buntut.

Beberapa kali ia menepuk lengan dan kakinya, terkadang tamparan ke pipinya. Pasti nyamuk hinggap di beberapa bagian tubuh si bapak. Mana mungkin darahnya pahit.  Aku pun menggerak-gerakkan kaki dan tanganku, agar binatang halus itu tidak hinggap.

Taman lengang. Sinar lampu jalan temeram menembus dedaunan pohon di tepi taman. Wajah si bapak tua sekilas berminyak. Mungkin karena kegerahan. Tapi malam ini ada sedikit semilir angin. Asap rokoknya dibawa angin menyerbu mukaku.

“Apa maksud Bapak rumahnya ada entah dimana-mana?”

“Bumi ini, alam ini, kan rumah bagi orang hidup.”

“Maksud Bapak?”

“Orang mati bukan di sini alamnya. Jadi bukan di sini rumahnya. Kalo bagi kita, semua yang kita pijak adalah rumah kita. Apalagi kita diciptakan sebagai alam kecil dan dunia ini alam besar. Jadi alam kecil tentu ada dalam alam besar.”

Ih, aku mendecak dalam hati.  Ini kalimat sederhana tapi bermakna besar. Naluri membimbingku. Kata-kata seperti ini pasti tak kutemukan dari orang-orang dalam gang itu.

“Kalau boleh tahu, kenapa Bapak ada di taman ini. Saya perhatikan sudah lama pula.”

“Di sini tenang,” katanya, “Walau sesekali bergemuruh suara kereta api. Tapi sepi dan gemuruh bagi sebagian orang adalah harmoni.”

Aku mulai tak mengerti.

“Jadi karena ada harmoni makanya Bapak suka di sini?”

“Tidak juga. Karena harmoni  itu ada di mana-mana.  Harmoni itu harus selaras. Dan ia terdapat tidak hanya dalam bunyi, kata dan gerak.  Melihat langkah orang pun bisa menjadi harmoni. Daun jatuh pun harmoni. Suara hujan pun harmoni. Tinggal tiap orang, apakah mampu menyelaraskannya.”

“Menyelaraskan dengan apa Pak.”

“Dengan inti kehidupan.”  Sebatang rokok baru ditaruh di bibir, kemudian asap kembali mengebul. Aku cepat-cepat bertanya, karena khawatir ia lupa dengan ‘inti kehidupan’ yang diucapkannya.

“Inti kehidupan apa Pak.” Ia menoleh ke arahku dan menurunkan kedua kakinya. Angin mulai memburu kami, nyamuk pun terasa berhilangan. Seseorang datang membawa secangkir plastik kopi untuk pak tua.

“Terima kasih ya,” kata Pak Tua dan si pengantar kopi mengangguk.

“Inti kehidupan adalah roh!” Aku terkesima dan ia menyeruput kopinya.

Inti kehidupan adalah roh? Aku memandang jauh ke arah kegelapan.  Mataku tak mampu menembus tembok hitam malam, walau ada temeram sinar lampu jalan.

“Bapak asalnya dari mana?”

“Dari Medan. Dulu keluarga saya kaya.  Orangtua saya punya percetakan, punya penerbitan. Punya majalah paling dikenal di daerah saya.”  Wah, Pak Tua ini seolah tahu apa yang ada dalam benakku. Aku belum bertanya ia sudah memberi jawaban.

“Terus Bapak kok bisa sampai di sini?”

“Sudahlah gak usah tanya-tanya itu. Ada hal-hal yang orang lain tak perlu tahu. Itu masa lalu. Sudah lama sekali. Aku kini hanya mencari keselarasan, agar bisa mengintip inti kehidupan itu.”

Rokoknya entah sudah berapa batang bersambung. Dan yang ditangannya sudah pendek, hampir membakar filter dan jemarinya.

Ada halaman-halaman dari jilid perjalanan orang tua itu yang disobeknya sendiri. Agar hilang dari ingatannya. Agar orang tak tahu. Agar sejarah tercabik. Atau bahkan agar tercerabut dari pikirannya sendiri.

“Tadi Bapak bilang inti kehidupan itu adalah roh. Apa itu artinya? Bapak mencari keselarasan untuk mengintipnya? Saya gak ngerti Pak.”

“Memang kamu tidak harus mengerti.”

“Jadi?”

“Rasakan. Karena mengerti itu dengan kepala dan rasakan itu dengan hati.”

Jadi mengerti tidak harus merasakan atau merasakan tapi tak perlu mengerti? Aku harus mikir nih.  Eh tapi katanya gak perlu dipikirkan, melainkan dirasakan.

Aku agak mumet nih. Entah mengapa nuraniku membimbingku ke taman ini. Kalau orang-orang dalam gang itu berpikir seperti si bapak tua, entah apa yang terjadi. Berpikir? Tapi mereka harus merasakannya. Aku sendiri belum berpikir dan belum merasa.

“Ah, ternyata Bapak dulu orang kaya ya.” Aku asal ngomong aja. Seolah sudah tertutup saluran kata-kata.

“Ya, itukan kaya di dunia.”

“Maksudnya?”

“Inti kehidupan itu tidak memerlukan harta dunia.”

Ah, kulirik jam tangan, malam sudah mulai larut. Istriku pasti bingung, kok aku lama di taman dan entah ngapain. Aku pun mulai semakin tak mengerti. Aku pamitan.

oOo

Keesokan harinya, aku lewat di taman dan hanya ada temannya pak tua. Aku melangkahi pagar taman yang yak begitu tinggi dan mengampirinya.

“Pak, apa kabar? Pak tua itu kemana?”

“Baik.  Gak tau dia kemana.”

“Dia bilang, memang dulu keluarganya amat kaya.”

“Ya, dia juga bilang gitu.  Orang yang kenal dengan dia juga bilang begitu.”

“Lantas kok jadi penghuni taman?

“Kata orang, dia itu pemalas dan menghambur-hamburkan harta keluarganya.”

Aku terperangan. Aku menarik nafas panjang.  Pemalas? Menghamburkan harta?

Apakah ini ada kaitannya dengan “inti kehidupan” itu?

Hingga sekarang, pria di taman itu tetap membayang-bayangi benakku.

oOo

Jakarta, 15 November 2019.

Leave A Comment

Your email address will not be published. Required fields are marked *