Lebaran di Ciampea (2)


Lebaran keluarga klaster E Perum Puri Arraya Bogor. (ist)

Untuk kedua kalinya saya berlebaran di Ciampea. Tak ada keluarga dekat, selain istri. Semua warga Puri Arraya yang relatif masih muda, satu dua saja yang sudah kakek-kakek. Saya berada di antara mereka, pada Lebaran 1 Syawal 1442 H.

Sebenarnya saya tidak sendiri bersama isteri. Malam takbiran, puteri saya datang bersama suami dan kedua puterinya, setelah sehari sebelumnya anak saya lainnya datang juga bersama suami dan kedua anaknya. Anak saya satunya, tidak dapat datang karena suaminya sedang sakit, sehingga harus dirawat di rumah sakit.

Suasana terasa lengang dan hampa, karena ada keluarga yang sedang dirawat. Ini kesan batin pada Lebaran 2021, setelah pada tahun lalu ada kisah nyata yang saya torehkan dalam ( arloebis.com/lebaran-di-ciampea/ ). Perih hati ini pada Lebaran di musim Covid-19 2020, kemudian berulang lagi pada 2021.

Terasa berat sekali untuk merangkai kata, tidak tahu harus dimulai dari mana. Tahun lalu, kisah pilu di malam takbiran pun masih sempat dirangkai dalam ( arloebis.com/malam-lebaran-di-saung/ ).

Tahun ini, malam takbiran ditandai dengan canda ria sembali bakar ikan bersama tetangga di lorong klaster E Puri Arraya, Ciampea.  Bedug bertalu-talu dan gema takbiran saling sahut dari pengeras suara seantero perumahan dan perkampungan.

Angin bertiup berdesir dari dedaunan bambu yang tumbuh berkelompok di tepi kali yang membatas perumahan.  Aroma ikan bakar menyeruak lobang hidung. Kecap ditaburi cabe iris sudah siap dalam piring, daun pisang digelar berjejer di atas tikar di lorong itu.

Takbir bersahut-sahutan dan kami dengan lahap menyantap ikan bakar di atas nasi, tentu saja masker harus dibuka. Kalau tidak, gimane mau menyuap nasi ke mulut?  Namun tak urung puteri saya yang datang tengah malam dari Jakarta, “menegor” saya karena berani-beraninya santap bersama di atas daun di lorong rumah kami.

Keesokan harinya, kami sembahyang Ied di Masjid Arraya dekat rumah, pulangnya saling bersalaman dengan tetangga dan keluarga. Kemudian sebagian santap pagi di sawung depan rumah.  Lontong, rendang daging, opor ayam, masakan isteri, terasa enak masuk kerongkongan. Kami amat bersyukur dan bersuka cita.

Terasa nikmat dan sahdu. Tetangga terasa sudah seperti keluarga sendiri. Kami berfoto bersama di lapangan, dengan latar belakang pepohonan. Ada kali kecil, yang membatasi perumahan kami dengan perkampungan Setu.

Singkat cerita, saya meng-upload cerita pendek karangan sahabat saya Hendry Ch Bangun, judulnya Menjadi Tua.

Ini hanya cerita, tapi terasa amat mendalam, karena berkaitan dengan usia senja. Cerpen ini seperti kejadian sebenarnya. Cerpen ini menjadi nasihat bagi siapa saja (mimbar-rakyat.com/detail/menjadi-tua-cerpen-hendry-ch-bangun/).

Puluhan tahun lalu, bila memasuki masa hari ulang tahun, terasa biasa saja, tapi sekarang langsung menghitung-hitung angka. Usia sudah kepala enam dan akan memasuki kepala tujuh.  Pasti tak lama lagi. Apalagi waktu terasa seperti melesat dari busur panah.

Apakah aku, kita, masih sampai pada Ramadan mendatang?

Ya Allah, kami tinggal menunggu waktu, menanti giliran, entah siapa yang duluan.

Kepergian itu begitu beragam. Lihatlah saudara kita di Palestina, di Jalur Gaza, yang diberondong peluru, yang dipenggal kepalanya. Tidak perduli orang tua, kanak-kanak dan wanita.

Juga saudara kita yang hilang di kapal selam Nanggala-402, para syuhada ditembak di jalan tol, kapal terbang jatuh, orang-orang yang tewas karena Covid-19 dan berbagai penyebab lainnya.

Entah kepergian yang bagaimana yang akan kita jalani. Namun kita tetap berdoa, semoga bertemu lagi dengan Ramadan mendatang.  Amiin. ***

Leave A Comment

Your email address will not be published. Required fields are marked *