Tukang pijat Malioboro lihat duit hilang capeknya


Pemijat Malioboro. (arl)

Tulisan dengan judul seperti di atas, bukan lah cerita pendek atau puisi, ini hikayat sebenarnya seorang tukang pijat di Malioboro, DI Yogyakarta.

“Apa suka dukanya Pak,” langsung saja ditembak dengan pertanyaan, ketika ia memijat kaki saya, pada suatu hari saat berkunjung ke kota budaya itu di ujung Mei 2024.

Pada awalnya ia enggan bercerita, karena menurutnya, selalu saja ada yang aneh bila orang menuliskan tentang tukang pijat di Malioboro.

“Saya khawatir nanti jadi pebicaraan viral dan ada efek negatip bagi kami. Malioboro sedang terus diawasi..,” katanya.

“Diawasi?”

“Ya karena di sini sudah tidak boleh berdagang dan melakukan aktivitas lainnya. Masing-masing sudah ada tempatnya,” tutur lelaki paruh baya itu.

“Ya udah deh..itu tadi apa suka duka bapak di sini?” Ini ditanya ulang, setelah ia mengangguk-angguk saat dijelaskan bahwa kami bukan tipe penulis seperti yang dikhawatirkannya.

“Kami bekerja di bawah dan baka-bapak di atas,” jawabnya. Ya ialah..tukang pijat itu duduk di jalanan sedangkan orang yang dipijat duduk di bangku yang banyak terletak di Malioboro.

“Mendengar logatnya Bapak orang seberang ya..dari Sumatera Barat,” ditanya lagi.

“Benar Pak,” jawab pria yang mengaku berusia 43 tahun itu. Dahulu kala, ia membantu saudaranya berdagang pakaian di Malioboro sejak 2001. Ketika pandemi 2020-2021, dagangan mandeg. Ia enggan pulang kampung, akhirnya jadilah tukang pijat Malioboro.

“Kok bisa memijat Pak?”

“Kita belajar. Tidak asal pijat. Ada titik-titik tertentu yang dipijat,” kata Heri, asal Painan, yang beristerikan wanita Jawa.

Tapi, lanjut Heri, karena rumah keluarga isterinya agak jauh, makanya ia kos di dekat Malioboro dan sekali seminggu mereka bertemu.

“Anak saya lima orang,” katanya, dengan menambahkan, semua sekolah bahkan ada yang mendapat bea siswa kuliah di Jakarta.

Bila hari libur, misalnya hari raya Idul Fitri, ia bisa memijat sampai 10 orang dalam sehari dan per orang bayarannya Rp50 ribu (refleksi kaki). Kalau ditambah pijat di bagian punggung, tambah lagi Rp50 ribu. Bila hari biasa, ia memijat dua smpai tiga orang.

“Saya ngekos Rp500 ribu per bulan. Jadi penghasilan itu alhamdulillah sudah lebih dari cukup,” katanya. Ketika penulis dipijat pada pagi hari usai jalan dari Tugu hingga Alun-Alun, ia sudah dapat tiga orang yang dipijat, karena penulis bersama dua teman lain, yang dipijat usai sarapan pagi di Pasar Bringharjo. Melihat kami dipijat keenakan, beberapa orang paruh baya antre menanti kami selesai (30 menit).

Ia mengaku, sengaja keluar pagi hari sedangkan teman-tmannya umumnya bekerja mulai petang hari. Ia pulang tengah malam. Menurut Heri, ada sekitar 100-an pemijat di Malioboro dan mereka bergabung dalam perkumpulan semacam yayasan Bernama Cahyo.

“Apakah tidak capek memijat sampai sepuluh orang dalam sehari?”

“Capek sih capek. Tapi melihat duit hilang rasa capeknya,” kata Heri tersenyum.

“Lumayan ya Pak Heri, tiap hari bisa dapat ratusan ribu rupiah. Apa bedanya mijat dengan dagang seperti dulu?.”

“Kalau mijat tanpa modal. Hanya minyak, handbody dan handuk untuk ngelap bekas minyak,” ujarnya, “kalau dagang harus ada tempat dan jamnya, kalua mijat tanpa jam.”

Oke deh Pak Heri, semoga tetap berlanjut kerjanya. Ia tetap akan eksis di Malioboro, karena kota itu tetap ramai di hari biasa, apalagi akhir minggu, apalagi bila tanggal merah dan libur bersama. (arl)

Leave A Comment

Your email address will not be published. Required fields are marked *