Iman


Ilustrasi - Cinta dalam doa. (hipwee.com)

Kayaknya Iman sudah gila.”

“Ah, kamu ini. Emangnya kenapa.”

“Omongannya ngawur..ada-ada aja yang ditanya dan orang-orang gak bisa jawab.”

“Ngomong apaan dia.”

“Dia tanya Tuhan itu ada dimana.”

“Abah bilang Tuhan itu tidak jauh. Ada di urat leher manusia.”

“Eh dia tanya lagi, kalo gitu Tuhan itu kecil ya”

“Abah bilang Tuhan itu memiliki semua alam dan isinya. Juga langit beserta semua tata surya.”

“Dia komentar lagi. Lo kalau gitu Tuhan itu besar  ya.”

“Ah aku mau lihat Tuhan. Aku ingin lihat wajahnya. Aku ingin mencium tangannya. Dia bilang gitu.”

“Mungkin Iman kesambet.”

“Ia nyerocos gitu sudah hampir setahun ini.”

“Tapi kayaknya dia nggak gila. Terkadang masih mau ke sini”

“Ia pernah minta dikubur karena ingin melihat Tuhan.”

“Ah, ngeri ya. Ada-ada saja. Kalau dikubur ya mati lah.”

“Jangan-jangan sebenarnya ia itu sudah mati.”

“Ngawur kamu.”

“Padahal ia masih mau ke langgar.”

“Ia tidak melewati tangga keimanan yang seharusnya. Ia tidak melewati tangga syariat.”

“Apa itu artinya.”

“Ia belum nglakoni syariat yang sebenarnya, tapi melangkah ke makrifat atau bahkan tareqot.”

“Apa itu artinya.”

“Ah aku hanya dengar-dengar. Gak bisa menjelaskan.”

oOo

Sekelompok orang sedang duduk di pos jaga dekat langgar. Ada yang namanya Amin, Sahri, Dudung, Siram, Ardah dan beberapa lainnya. Ada yang mengenakan kain sarung dan berbaju gamis, ada yang mengenakan kaos oblong dan bersarung, ada yang bercelana panjang dan berbaju batik.

Tiap petang meka berkumpul di pos jaga berupa joglo itu. Mereka menunggu bedug berbunyi. Bulan Ramadan kali ini cuaca terasa amat gerah. Sekitar satu jam menjelang berbuka puasa, umumnya kami masih berkipas-kipas di pos itu. Aku baru dua minggu tiba dari kota. Enak bekerja swasta sendiri,  mau libur atau mau bekerja tergantung kita sendiri. Aku dengan khusuk mendengarkan dialog mereka itu.

Dari langgar  – semacam surau atau mushola – terdengar suara berisik, remaja sedang menyiapkan buka puasa. Orang-orang sekitar langgar mengirim penganan untuk berbuka. Ternyata sama dengan di kota, jamaah didata kapan gilirannya membawa tajil ke langgar.

Tak jauh dari pos jaga, terbentang jalan setapak dengan permukaan tanah merah dan berbatu-batu. Kalau berjalan di atasnya, harus perlahan untuk memilih-milih tapak kaki, agar tidak memijak batu tajam. Batu tajam sebenarnya hanya satu-dua, tapi bila tidak sengaja terpijak..oh alangkah sakitnya, walau pun mengenakan sandal.

Jalan setapak itu amat panjang, menghubungkan perjalanan dari rumah ke rumah, dari satu tempat ke tempat lain.

Bila turun dari bus antarkota – antarkabupaten dan antarprovinsi di jalan besar, maka penduduk desa itu harus melewati jalan setapak, karena di kiri kanan jalan masih semak belukar.  Kemudian hamparan sawah dan ladang sejauh mata memandang. Rumah-rumah terbuat dari papan, sebagian ada yang sudah setengah beton, terlihat kecil dari kejauhan.

Ah hati siapa yang tak rindu pulang ke tempat kelahiran. Siapa pun dia, pasti hatinya terpaut dan tetap tersangkut dengan daerah kelahirannya.

Nah di antara para pemuda dan orang tua yang biasa berkumpul di pos itu, biasanya terdapat  Iman, tapi konon sudah sekitar satu tahun ini ia mendadak sedeng alias setengah waras dan setengah gila. Terkadang bila diajak bicara, ia bisa menjawab dengan baik alias nyambung. Ia pun masih kenal dengan aku.

“Kapan abang pulang,” katanya suatu saat ketika kami bertemu di warung Wak Minah. Ia bicara ngalor-ngidul, bertanya tentang situasiku di kota dan mengeluh tentang hampanya perasaannya di kampung,   tapi tidak tahu mau kemana.

“Aku sebenarnya ingin ke kota juga, mengadu nasib,” katanya.

“Ya, datanglah ke kota, mungkin kehidupanmu bisa enak di kota,” kataku.

“Tapi aku takut.”

“Apa yang kau takutkan.”

“Aku takut kehilangan Tuhan. Kata orang Allah tidak ada di kota. Kalau pun ada, aku takut jauh dari Dia, karena hidup di kota kata orang terlalu sibuk.”

“Tapi kata Abah Tuhan itu ada di urat leher kita, aku jadi tidak mengerti.”

Benar kata-kata orang, Iman lagi bingung dengan Tuhannya. Ia kehilangan kesadaran tentang pembedaan wujud dan ghaib, padahal salah satu rukun Iman adalah mempercayai hal ghaib. Tentang kehidupan setelah dunia, tentang alam kubur, tentang adanya alam akhirat, tentang adanya malaikat, tentang adanya Allah swt.

“Ya Iman, Tuhan Allah itu memang ada di leher kita, artinya sedekat urat leher kita. Jadi kita jangan melakukan hal yang dilarangnya, karena Ia terus mengawasi kita,” ujarku ketika bersamanya duduk di bangku di pelataran warung Wak Minah.

“Kok kita tidak bisa melihat rupaNya? Apakah Ia juga ada di sorga, di neraka, di luar negeri? Di Jepang, di Belanda, dimana-mana?”

“Ya, Ia ada di mana-mana.”

“Katanya cuma ada satu. Ah.”

Orang yang ada di depanku ini memang sedang “konslet”, kendati kelihatan wajar, mengenakan pakaian wajar, menyisir rambut dengan rapi, mencukur kumis dan memelihaa jenggotnya dengan baik. Tapi terkadang ia merenung menunduk, terkadang memandang kosong ke kejauhan, terkadang tertawa sendiri, terkadang wajahnya seperti meringis.

Ia memandang ke kejauhan. Aku mengamatinya dari samping.  Usianya setengah baya, belum lagi berusia kepala lima. Anaknya lelaki tinggal di kota sedangkan istrinya setiap pagi menjual penganan untuk sarapan pagi, seperti pisang goreng, ketan ditaburi kelapa parut atau yang ditaburi bumbu atau ditaburi parutan kelapa parut yang digongseng. Aku paling doyan dengan ketan kelapa gongseng itu.

Seperti umumnya lelaki lain yang tinggal di desa itu, Iman hanya mengenyam pendidikan sekolah menengah, karena di tempat mereka itu pada masa kanak-kanak, belum ada sekolah menengah atas. Apalagi mereka sejak remaja umumnya membantu orang tua di ladang.  Bila malam, mereka dulunya belajar mengaji di langgar, dibimbing marbot langgar, yang dipanggil mereka Abah.

oOo

Aku dengan khusuk mendengarkan dialog mereka.  Malam itu berkumpul di pos itu sekelompok orang yang namanya Amin, Sahri, Dudung, Siram, Ardah dan beberapa lainnya. Mereka pada ngebul sembari menghirup kopi. Maklum shalat tarawih baru usai dan seperti biasa, mereka pada ngumpul di pos jaga.

Amin adalah buruh tani, Sahri pedagang kelontong keliling, Dudung putus kuliah di kota dan sekarang nganggur, Siram kerja serabutan tapi ahli bangunan dan Ardah memiliki kemampuan turunan..pijat patah tulang.

Dudung menarik sarungnya, mungkin menghindari gigitan nyamuk, kemudian menyeruput kopinya.   Pembicaraan pastilah tidak ada temanya, alias ngalor-ngidul.  Mereka semua teman baik saya sejak kecil. Tapi saya sudah tiga tahun ini tidak pulang sehingga tidak begitu mengikuti kemajuan atau mungkin kemunduran yang ada di desa itu.

“Assalamu’alaikum,” tiba-tiba kami dikejutkan suara dari samping bangunan pos itu, ternyata Iman nongol dan langsung nimbrung duduk bersama kami.

Semua yang ada di situ saling berpandangan. “Ngapain dia ke sini,” kata Sahri sembari berbisik bahwa dalam setahun ini baru kali ini Iman datang bergabung bersama mereka.

“Eh Iman..Wa’alaikum salam..kopinya masih ada nih..ambil Man,” kataku menegor pria yang selalu jadi buah-bibir orang-orang di desa itu.  Ia memakai kain sarung, baju koko dan berpeci. Kelihatan bersih bahkan berwibawa.

“Kopinya enak Pak..masih hangat. Terima kasih ya,” kata Iman di tengah keheningan malam.

“Aku akan bertemu dengan Tuhan,” katanya.  Ungkapan tiba-tiba ini mengejutkan dan semua yang ada di pos itu kembali saling pandang.

Tak ada yang membalas kalimat pernyataan Iman.  Mungkin mereka sudah biasa mendengar hal seperti itu. Tapi, luar biasa keheningan ini. Tak ada kata yang terucap, semua sibuk dengan kesibukannya sendiri.  Bahkan tak ada gerak, karena yang bergerak adalah pikiran masing-masing dan asap rokok yang seolah melambai-lambai ke udara.

“Tuhan Allah menjanjikan pertemuan kami besok,”  keheningan kembali seperti terkoyak.

“Aku melihat ibu dan ayahku melambai. Mereka tersenyum menanti kedatanganku.”

Tak ada yang menyahut atau pun berkomentar.

Akhirnya satu persatu kami meninggalkan pos. Aku yang terakhir bersama Iman. Si pencari Tuban itu pun tak ada lagi mengeluarkan kata, kami berpisah di persimpangan jalan.

Keesokan harinya, beberapa saat setelah usai solat subuh, terdengar pengumuman dari masjid:

“Innalillahi wa inna ilaihi rojiun. Telah berpulang saudara kita Iman…”

Dadaku berdegup kencang. Mereka telah bertemu. Allah membuka hijab Iman, mereka sebenarnya sudah bertemu ketika kami ngopi semalam. Iman semalam sudah melihat ibu dan ayahnya. Iman pergi tanpa sakit fisik apa pun.

Aku menemukan rahasia Allah di desa ini. Aku menemukan Allah melalui Iman. Semakin kita mencari zatNya maka Ia pun semakin mendekat dengan kita.

Keesokan harinya di pos jaga, kami membicaran tentang Iman hingga jauh malam. Semua merasa seperti kehilangan. Ternyata Iman dan segala tingkah lakunya selama ini, merupakan nasihat bagi kami.

***

Jakarta, Januari 2016

(Cerpen ini dimuat dalam buku hari pers nasional HPN 2018)

Leave A Comment

Your email address will not be published. Required fields are marked *